Langsung ke konten utama

Postingan

Perisai Jiwa Kalut.

Perisai Jiwa Kalut. Biarkan aku menjelma banyak hal untuk bercerita tentang kamu, yang memberiku balut pada sejuta luka yang ku raup.  Karna ada beberapa hal di bentala ini yang memang tidak seharusnya untuk dipahami. Termasuk tentang gelas kaca retak yang akan bisa kembali menjadi satu jika dipahat kembali oleh yang mengasihi, tentang abu-abu nya penglihatan yang dalam kedipan mata menjadi berwarna oleh yang memberi tawar, dan tentang kamu yang menjadi semuanya. Pandanganku terhadap dunia terlalu lemah sampai kamu menghempas hal-hal hina yang buatku merasa demikian. Terkadang secara sadar aku dengan tak merasa disayangkannya mengeluarkan air mata saat berfikir tentang betapa menakjubkannya semesta setelah hidupku berporos pada kamu. Aku senang dapat melihat dunia menjadi seindah ini, seindah saat kamu mengatakan padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Walau terkadang perasaan-perasaan bergemuruh dalam diri ini membuatku menjadi wanita gila, sabarmu tak pernah terlipat menghadap...
Postingan terbaru

Ragu yang Kalap.

Ragu yang Kalap Tragedi luka tentang amatirnya merasa, membuat ragu bersemayam pada yang bukan. Terkujur jiwa ini Dalam peti mati Terkujur perasaan ini Rayakan yang tlah mati Ditancapnya berjuta keping kaca Pada hati yang entah, Akan berwujud semula Atau tidak Hanya perlu satu raup Tuk raibkan rasa kelu Yaitu tentang aku Yang harusnya masih hidup Rasa sulit terlelap Mempertanyakan yang hinggap Layakkah ku mendapat dekap? Setelah sayat yang menyekap? - N, yang merasa akan kehambaran.

Mendekap Keping Semu.

Mendekap Keping Semu. Pada bab akhir, tentang segala cerita yang terukir, aku akan tetap hadir menjadi satu hal tersisa yang terakhir. Larva darah pecah mengalir Meluap penuhi sisi diri Debar jantung melemah Tatap mata sendu memerah Dibuai kelam yang tampak sejati Merasa dihunus sepi kian mencekik Ditilik kini berisi sekeping duri Lantas menjadi-jadi Dulu kanvas putih ini terisi  Warna-warni menghiasi Kau yang melukis rapi Tapi, kau juga yang merobek mati Mencekik bayang, akan semu yang sempat hadir Walau hanya khayal, kau tak layak disebut ilusi Kau pernah nyata Membasuh darah dan luka nanah Mendekap lelah yang ku cipta Walau pudar saat bunga tercipta Redup sesakki penjuru hati Pelita yang ku puja, kini mati Terkubur dalam liang inti Yang ku tahu tak akan hidup lagi. -N, pengagum sang pembedah hati.

Liang.

Liang. Walau nanti, akan berlagak seperti dua orang yang tak pernah saling memberi. Disaat gelap menguasai seisi penjuru hati, robekan penuh sayat menghiasi relung diri, saat banyak darah terkunci yang tampak tak dapat mengalir keluar, kau hadir. Hadir sebagai pelita yang menghapus gelap bahkan di sudut terkecil hati, hadir sebagai perban membalut semua sayatan yang terukir, hadir sebagai jalan agar darah-darah tak kasat mata ini keluar dan habis. Sejatinya, kau hadir meraup seluruh paku yang tertelan olehku. Aku tampak gila, oleh segala hal manis yang kau perbuat, oleh tutur katamu yang menyejukkan layak bayu, oleh lengkungan bibirmu yang aku tak pernah lihat ada senyum semanis itu sebelumnya. Kita tampak berjalan beriringan, lewati banyak lubang di jalan beraspal, saling menjunjung saat satu di diantara kita tengah lumpuh, saling memberi tapak ketika deras air harus dilewati. Begitu banyak malam yang sudah kita lewati, begitu banyak tawa yang sudah kita gemakan bersama, tatap dan lam...

Diusut Rasa, Dibungkam Logika

Diusut Rasa, Dibungkam Logika. Kini tidak dapat lagi, bercerita tentang matahari, rembulan, dan segala impian-impian yang tersembunyi. Dambaan lengah kau usap jadi nyata Ditengah putus asa, kau hadir penuh karsa Kau raup semua paku dalam diriku Tampak rela terluka sendu Tepikan dahaga akan afeksi Rasanya tak lebih dari meneguk setumpuk duri Bahkan amis darah ini terasa manis Rasanya seperti semua padan jika menyangkut kamu Merayap serasa dikecap  Menyeruak dalam jiwa, pilunya Teriakkan berjuta asa akan rasa Yang tak kunjung dicipta Bualan diambang pecah Matinya tinggalkan cacah Dibajak ego menjadi limbah sambah Serupa kita, bukankah? Nyanyian tersendu - sendu ini sampai habis Indahmu tak lain mematikan layak wisteria Memaksaku untuk sastrakan bahwa, Aku memuja sampai bumi berhenti berporos pada matahari -N, sang penggila lara.

Aku 'manusia', Bukan 'Manusia'

Aku 'manusia', Bukan 'Manusia' Luka pada setiap desir-desir darah manusia adalah hal lumrah, yakin pada jagat bahwa akan ada balut pada setiap luka yang kau peluk. Bukan nona jika tak banyak ingin Bahhkan ketika banyak larva yang terurai Mari mati, jika sepi datang lagi Mati mari, jika tak lagi sepi Lambai pun tampak tak kasat Aku seperti ingin teriak "Wahai bentala, perlakukan aku dengan layak!" Namun paku keluar dari mulutku tak kalah banyak Aku muak dengan tatap tatap mata asing Sudahkah darah ini tergerak berhenti? Atau, masih menjalar Layak belati yang tertancap di relung diri Aku, yang selalu buncah akan sepi Aku, yang selalu haus akan afeksi Dan aku, yang jiwanya tampak di ambang mati Tapi, Tuhan masih baik hati dengan memberi balut pada setiap darah mengalir yang tampak ngeri. - N, seorang 'aku' yang tak kau sadar juga kamu.